NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG TELEKOMUNIKASI
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian
Kesembilan
Telekomunikasi
Khusus
Pasal
29
1. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan
ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi
lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.
Penjelasan Pasal 29 :
Ayat 1
Telekomunikasi milik pribadi adalah telekomuniukasi
yang bersifat private dan apabila ada pihak yang menyambungkan jaringan pribadi
ke jaringan lainnya maka pihak yang menyambungkan tersebut patut mendapat
hukuman karena telah melanggar hukum sesuai dengan yang disebutkan pada pasal
ini. Telekomunikasi pertahanan dan keamanan negara adalah telekomunikasi yang
bersifat rahasia untuk itu telekomunikasi ini tidak boleh disambungkan dengan
jaringan lainnya karena menyangkut keamanan suatu negara yang apabila diketahui
pihak lain dapat berbahaya, bila ada pihak yang menyambungkan jaringan ini dengan
jaringan lain maka telah melanggar hukum sesuai dengan yang disebutkan pada pasal
ini.
Ayat 2
Telekomunikasi penyiaran adalah
telekomunikasi yang jaringannya dikhususkan untuk keperluan penyiaran misalnya
televisi dan radio, untuk jaringan telekomunikasi ini diperbolehkan
disambungkan dengan jaringan lainnya tetapi hanya untuk keperluan penyiaran,
apabila digunakan untuk keperluan selain penyiaran, maka itu telah melanggar
hukum sesuai dengan ketentuan pasal ini.
Contoh Kasus :
Ada beberapa kasus
mengenai fenomena media konvergensi di Indonesia, sebut saja Liputan 6 online,
Kompas online dan radio streaming. Dari beberapa contoh tersebut ada
satu hal yang sangat menarik, yaitu kasus radio Suara Surabaya. Sedikit
perkenalan, radio ini merupakan radio lokal yang siarannya dapat diakses dan di
unduh secara real time dan online.
Seperti yang telah
saya terangkan sebagai contoh diatas bahwa Suara Surabaya mengalami sebuah
fenomena yang beranjak dari sebuah radio lokal menuju pada sebuah radio global.
Perubahan ini tentu saja sudah tidak dapat lagi dapat diikat oleh regulasi
penyiaran yang ada. Radio Suara Surabaya sudah mulai bergeser pada teknologi
digital dengan sifatnya yang global dan otomatis regulasi yang ada sudah tidak
dapat lagi mengikutinya, apalagi terbentur dengan kebijakan global.
Media TV juga sudah
menerapkan hal serupa dimana teknologi digital akan membawa pada sebuah
fenomena penyiaran digital yang memudahkan media tersebut diakses. Saya dapat
mencontohkan bahwa Nokia sudah mengantisipasi hal ini dengan mengeluarkan tipe mobile
phone dengan reciever sinyal televisi yang menggunakan freqwensi
DVB-H, sehingga siaran televisi digital dapat diakses secara instant, dan hal
ini sudah dimulai 3 tahun lalu ketika Nokia merilis seri N92 dengan menggandeng
RCTI dan SCTV sebagai pioneer di bidang DVB-H broadcast. Disini
dapat dicontohkan bagaimana seluler yang sifatnya sangat personal dapat
dikonvergensikan dengan media televisi yang sifatnya publik.
Keadaan ini pada
dasarnya sedang berusaha diikuti pemerintah dengan berbagai macam langkah dalam
mengeluarkan regulasi dan undang-undang penyiaran, namun hal tersebut tidaklah
cukup memadai dalam mengikuti pergeseran teknologi yang diikuti oleh pergeseran
media. Namun masalah selalu hadir kembali disaat teknlogi informasi dan
komunikasi baru hadir kembali. Secara sederhana dapat saya contohkan dengan
peraturan telekomunikasi WCDMA dan HSDPA (3G dan 3,5G) yang ada sekarang tidak
akan dapat mengikuti teknologi yang akan datang di kemudian hari seperti
hadirnya WiMax yang mempunyai scope interaktifitas yang lebih luas dan
lebih cepat. WiMax memberikan sebuah kesempatan pada khalayak untuk terkoneksi secara
global dan masif, dan secara konsep meniadakan batasan dan jangkauan. Inilah
yang sebenarnya memerlukan sebuah regulasi khusus mengatur berkaitan dengan
kebebasan dan akses publik terhadap media konvergensi.
Baik media yang
bersifat personal maupun publik mengalami pergeseran teknologi sehingga memaksa
pemerintah harus selalu menyusun ulang regulasi. Pemerintah dalam beberapa hal
juga sudah menetapkan regulasi-regulasi baru di bidang penyiaran, sebut saja UU
no. 32 / 2002 yang mengatur regulasi penyiaran di Indonesia namun pada saat itu
ditetapkan teknologi digital belum berkembang seperti pada saat ini, apalagi di
saat dimana RUU-nya disusun. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran:
- Bahwa penyiaran TV dan radio harus memiliki IPP (pasal 33 ayat 1).
- Lembaga Penyiaran Swasta hanya dapat menyelenggarakan 1 siaran dengan 1 saluran siaran pada 1 Cakupan wilayah siaran (pasal 20) sehingga tidak relevan lagi pada era penyiaran digital karena penyiaran digital sifatnya adalah banyak siaran pada 1 saluran siaran di 1 cakupan wilayah siaran.
Terdapat juga UU no.
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang mengatur: setiap penyelenggaraan telekomunikasi
harus mendapatkan izin dari pemerintah (pasal 11) dan salah satu bentuk
penyelenggaraan telekomunikasi adalah penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
(pasal 7). UU ini bahkan sama sekali tidak menyentuh penyiaran dengan lebih
jauh sehingga sudah sangat tidak relevan dan efisien dalam penggunaanya, namun
ada satu hal menarik dalam UU ini adalah peraturan penyelenggaraan jaringan
tertutup yang akan diatur kemudian pada pasal 33 KM 20 / 2001. Sepertinya
regulasi mengenai pengadaan infrastruktur tetap masih akan berpatokan pada UU
no. 36 / 1999 ini.
Pemerintah juga
memutuskan dan melakukan sebuah tindakan dengan menyusun dan disahkannya Undang
undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh DPR tanggal 25 Maret 2008
oleh DPR mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan keberadaan Internet yang
menurut saya hanya bisa mengikat kasus-kasus yang terkait pada teknologi web 1.0
dan bukan pada penerusnya web 2.0.
Melihat hal ini kita
seharusnya sadar bahwa regulasi penyiaran tahun 2002 sudah mulai dipertanyakan
keefektifannya dan sudah saatnya menyusun sebuah rencana baru untuk pengaturan
penyiaran di Indonesia. Hal tersebut mengingat bahwa UU no. 32 / 2002:
- Tidak membicarakan adanya antisipasi perpindahan sistem analog kepada sistem digital. Pada prakteknya saat ini hampir semua perangkat mulai mendukung dan menggunakan fasilitas digital.
- Tidak tertuang bagaimana media dapat berkonvergensi dengan teknologi telekomunikasi yang memungkinkan adanya feedback dan partisipasi langsung.
- Media konvergensi menawarkan dan melakukan semua yang belum bisa dilakukan media konvensional. (dalam konteks media massa).
Pada kenyataanya
pemerintah juga tidak menutup mata tentang hal ini. Langkah pemerintah yang
paling tidak saat ini mulai terlihat adalah dengan mulai menyusun peraturan dan
regulasi untuk media TV digital dengan adanya Kepmen no.7 21 Maret 2007 yang
berisi penetapan DVB-T sebagai standar penyiaran nasional (DVB-T ini juga
sistim yang dipakai di Eropa)
No comments:
Post a Comment